Kacau!
Satu kata ini tampaknya tepat untuk menggambarkan pelaksanaan ujian nasional
tingkat SMA/SMK tahun ini.
Pelaksanaan
UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan
bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak Senin,
15/4/2013. Mulai dari rendahnya kualitas lembar jawaban UN, tertukarnya
paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi
kecurangan yang mulai dilaporkan ke posko pengaduan UN atapun yang diungkapkan
melalui media sosial.
Cukupkah
berbagai permasalahan UN dipandang sebagai masalah teknis belaka? Andai
masalah-masalah teknis ataupun indikasi kecurangan itu teratasi, misalnya
dengan memperbanyak paket soal dan memperketat pengawasan, apakah UN layak
dibiarkan tetap berlangsung sebagai rutinitas tahunan berbiaya besar tanpa
manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air?
Asumsi UN
Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir, mengapa UN
menimbulkan kecemasan yang luar biasa di kalangan siswa, orangtua, dan guru?
Mengapa pembelajaran menjadi tidak mengasyikkan lagi bagi siswa sehingga harus
dipaksa dengan sebuah tes bernama UN?
Persoalan
UN tidak bisa semata-mata ditarik ke ranah teknis. Asumsi yang melandasi
kebijakan UN harus diuji keabsahannya. Ujian kelulusan didasarkan asumsi:
dengan menetapkan standar akademis yang harus dicapai siswa dan diukur melalui
tes standar, disertai konsekuensi atas keberhasilan ataupun kegagalan mencapai
standar tersebut, akan meningkatkan motivasi siswa, guru, dan sekolah dalam
meningkatkan prestasi mereka.
Laporan
tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy—sebuah lembaga nirlaba
yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan
di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002—menyimpulkan
bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi
belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa
penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk
(2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara
pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.
Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca).
Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca).
Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen
internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada
di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut, sebagaimana pernah saya
sampaikan dalam opini saya sebelumnya berjudul ”Gawat Darurat Pendidikan”
(Kompas, 14/12/2012). Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan
mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah.
Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi
belajar siswa?
Sementara
itu, penelitian-penelitian lain juga telah mendokumentasikan dampak negatif
ujian kelulusan. Di antaranya: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan
status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi
siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum,
yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang
tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek
kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih
memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan
siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus
kecurangan.
Dampak-dampak
negatif ujian kelulusan yang terdokumentasikan dalam beberapa penelitian di
atas sebetulnya telah kita amati di Indonesia. Dampak negatif itu lebih dominan
dibandingkan dampak positif yang masih belum terbukti. Meskipun kita masih
butuh penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan
pengamatan-pengamatan tersebut, akal sehat kita semestinya segera mendorong
kita semua untuk segera mempertanyakan apakah UN sebagai salah satu komponen
penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan
pilihan kebijakan yang tepat saat ini?
Tidakkah lebih bermanfaat jika biaya penyelenggaraan
UN yang begitu besar, yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, dialihkan untuk
pelatihan guru, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, perbaikan sekolah
yang rusak, dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya? Belum lagi
biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua
murid.
Perlu diingat pula, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah mengabulkan gugatan 58 warga negara atas kebijakan UN (21/5/2007).
Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan ditolaknya upaya banding
pemerintah (6/12/2007). Putusan itu kembali dikukuhkan Mahkamah Agung dengan
ditolaknya kasasi pemerintah (14/9/2009). Sementara itu, tiga kali panggilan PN
Jakarta Pusat terkait eksekusi putusan tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Upaya-upaya yang dilakukan Tim Advokasi Korban UN, termasuk dengan menemui, antara lain, Komisi X DPR, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Presiden belum membuahkan hasil. UN masih tetap berlangsung tanpa ada penilaian dari pengadilan apakah pemerintah telah memenuhi syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.
Patuhi putusan pengadilan
Upaya-upaya yang dilakukan Tim Advokasi Korban UN, termasuk dengan menemui, antara lain, Komisi X DPR, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Presiden belum membuahkan hasil. UN masih tetap berlangsung tanpa ada penilaian dari pengadilan apakah pemerintah telah memenuhi syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.
Patuhi putusan pengadilan
Putusan pengadilan tersebut mestinya menjadi momentum untuk
meninjau UN sebagai penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Hal ini mengingat pelaksanaan UN tidak menjadi lebih baik,
efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan pencapaian siswa
masih menimbulkan tanda tanya, sementara dampak-dampak negatifnya terus
bermunculan.
Saatnya
UN dibicarakan bersama dengan jernih dan terbuka dengan melibatkan sejumlah
pemangku kepentingan. Dialog tersebut mestinya tidak hanya melibatkan kepala
sekolah ataupun kepala dinas pendidikan dan jajaran Kemdikbud, tetapi juga
kelompok masyarakat—termasuk yang selama ini dipandang sebagai penentang
kebijakan UN. Dengan begitu, UN dapat dibedah dengan menggunakan sudut pandang
yang bertolak belakang sekalipun guna mereposisi UN dan mencegah tereduksinya
pendidikan menjadi penyortiran siswa berdasarkan prestasi akademis.